Senin, 29 November 2010

bahasa non formal

BAHASA NON FORMAL
Profesinya sebagai pencabut nyawa

Ada yang menganggap dirinya monster, tetapi di mata pasien yang sudah tak berpengharapan dia adalah penyelamat. Sudah lebih dari 100 orang ‘diselamatkan’ dr. Jack Kevorkian. Tapi mengapa dokter ini dijuluki ‘dr. Kematian’?

Empat tahun lalu Judith Curren yang sudah 19 tahun menderita, dengan susah payah menulis surat kepada dr. Kevorkian. Surat yang tulisannya seperti cakar ayam itu berbunyi, “Tolong akhiri hidup saya yang penuh derita ini.”

Setelah menunggu sekian lama, baru kini di Quality Inn—sebuah motel kecil di utara Detroit, Amerika—permintaan Judith itu dikabulkan. Dr. Kevorkian menyiapkan jarum dan botol-botol infus yang akan membuat Judith (42) koma dan meninggalkan dunia fana. Sementara itu Janet Good, sang asisten, menyiapkan kamera video untuk merekam pernyataan keinginan terakhir pasiennya. Dr. Kevorkian menjelaskan, bila Judith sudah siap, ia tinggal menggerakkan tuas, dan dalam tempo seketika cairan infus yang mematikan akan masuk ke pembuluh darahnya.

Suami Judith, Franklin Curren (57), psikiater di Boston, mulanya menentang keinginan istrinya. Tetapi ketika kondisi istrinya makin memburuk—akibat sering tidak bisa tidur, asma yang berulang kambuh ditambah serangan demam, tak tahan cahaya, tak tahan bising, kaki mati rasa—ia akhirnya menyerah.

Malam sebelum menemui dr. Kematian (dr. Death), mereka menginap di hotel. Malam terakhir itu dilewatkan dengan membicarakan penyakit yang diderita Judith, juga tentang perkawinan mereka yang sudah berjalan 10 tahun, dan tentang anak perempuan mereka yang kini berumur 12 dan 9 tahun.

“Sekali lagi saya mencoba membujuk dia untuk membatalkan niatnya,” ujar Franklin. “Saya bilang padanya, seandainya dia pasien saya, mungkin saya bisa menerima keputusan itu; tapi sebagai suami saya tidak bisa menerimanya.” Tidak mengherankan bila malam itu menjadi malam yang penuh tangis. Mereka pun kurang tidur.

“Terima kasih, dr. Kevorkian.”

Bagi Kevorkian yang buka praktek semacam ini sejak Juni 1990, kasus Judith Curren agak rumit. Tidak seperti pasien-pasiennya yang lain, Judith tidak menderita kanker stadium lanjut yang tak ada obatnya. Dia pun bukan penderita kelumpuhan total. Judith menderita penyakit aneh. Berbagai dokter top di Amerika selalu bilang, Judith cuma menderita sindrom kelelahan kronis. Meski penyakitnya sendiri tidak mematikan, menurut hasil pemeriksaan laboratorium, daya tahan tubuh Judith selemah pasien AIDS.

Berbagai terapi, mulai dari obat sampai psikoterapi sudah dijalani, tapi rasa sakit tak juga berkurang. Semua ahli menganjurkan agar dia dimasukkan ke ‘panti perawatan’ (khusus untuk pasien yang tidak dapat sembuh) saja. Itulah sebabnya dr. Kevorkian semula sulit menerima Judith sebagai pasien.

Saat Kevorkian bersiap-siap memasang jarum infus yang dihubungkan ke tiga buah botol, Judith dan suaminya saling berciuman. Setelah itu, Judith menyandarkan tubuhnya dan menggerakkan tuas mesin pembunuh dengan mantap. Ia lalu menatap sang dokter. “Terima kasih, Dokter Kevorkian,” itulah kata-kata terakhirnya. Ia tertidur dan akhirnya meninggal.

Judith Curren adalah pasien Kevorkian yang ke-35. Seperti pasien-pasien lainnya, setelah meninggal jenazah Judith dibawa ke RS Pontiac Osteopatic. Pihak kejaksaan kemudian minta agar dr. Kevorkian yang berusia 72 tahun mempertanggung-jawabkan perbuatannya di pengadilan.

Sampai saat ini, sudah tiga kali Kevorkian diajukan ke pengadilan sehubungan dengan perbuatannya, namun selalu dinyatakan bebas.

Pemunculannya di pengadilan sering menjadi headline surat kabar dan TV, sehingga ia terkenal di seantero Amerika. Bahkan menurut jajak pendapat, namanya kini sama terkenalnya dengan Bill dan Hillary Clinton, presiden Amerika dan isrinya itu.

Akhir tahun lalu, ia kembali bikin heboh ketika stasiun TV CBS menayangkan rekaman aksinya terhadap Thomas Youk (52), penderita kelumpuhan total yang tidak dapat disembuhkan. Dalam rekaman itu tampak Kevorkian minta izin kepada Thomas untuk memberikan tiga suntikan mematikan. Ini ‘aksi pembunuhan aktif’ pertama yang dilakukannya. Setelah itu, wartawan bertanya apa yang kemudian akan terjadi. Dijawab, “Dia akan segera meninggal.” Memang tak lama kemudian kepala Thomas terkulai dengan mata terpejam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar