Minggu, 10 Oktober 2010

Akulturasi

Puluhan etnis yang hidup harmonis dan berdampingan satu sama lainnya di Bali mengalami proses akulturasi sehingga mampu melahirkan karya seni budaya yang unik dan menarik.

"Proses akulturasi itu telah terjadi sejak tujuh abad yang silam, yakni sejak sejumlah etnis pertama kali bersentuhan pada tahun 1380," kata Dr Drs I Gusti Made Ngurah MSi, dosen pada Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Selasa (6/7/2010).

Ia mengatakan, akulturasi itu menunjukkan adanya saling serap mengenai unsur budaya antaretnis, termasuk dari unsur agama Islam sebagai pendatang ke dalam budaya etnis Bali yang Hinduistik sebagai penerima.

Penerimaan dan penghargaan terhadap agama lain yang datang ke Bali oleh penduduk yang Hinduistik sampai saat ini masih berjalan dengan baik tanpa mengalami hambatan yang berarti.

Gusti Ngurah menambahkan, suku Bali-Hindu sejak semula hingga sekarang sangat toleran menerima dan menghargai kemajemukan sehingga kehadiran penduduk luar dari berbagai latar belakang bisa hidup berdampingan di "Pulau Dewata".

"Mereka hidup mesra dan harmonis dalam waktu yang sangat panjang, tanpa ada yang merasa terganggu dalam arti luas," ujar Gusti Ngurah, yang juga mantan Kakanwil Departemen Agama Provinsi Bali itu.

Hal itu dapat diwujudkan tidak lepas dari karakter agama Hindu yang dianut sebagian besar penduduk Pulau Dewata yang menjunjung tinggi sikap toleransi sebagai wujud ajaran agama "Tat Twam Asi".

Etnis Bali sebagai kelompok dominan terhadap etnis pendatang hingga saat ini masih bernada positif dan terbuka. Sebaliknya persepsi etnis pendatang terhadap etnis Bali dapat disimpulkan sangat baik dengan suatu pandangan yang agak subyektif.

"Orang Bali umumnya toleransi, terbuka, sopan, jujur, dan kreatif. Berbeda jika kita perhatikan secara saksama mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap keberadaan agama Hindu di tingkat nasional dan daerah lain, yang sampai sekarang masih mendapat perlakuan yang berbeda, baik menyangkut regulasi pemerintah, pengadaan tenaga pelayan agama, maupun fasilitas pelayanan keagamaan," tutur Gusti Made Ngurah.

Di tingkat nasional setelah Indonesia merdeka, keberadaan agama Hindu tidak mendapat pengakuan secepat yang diperoleh agama lain sebagai agama yang sah dan resmi dari pemerintah yang berkuasa.

Padahal, agama Hindu lahir pertama di dunia, yakni pada sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi, dan pertama kali pula masuk ke Indonesia, kemudian menyebar ke Bali. 

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, menyusul pendirian Departemen Agama 3 Januari 1946 untuk menjabarkan tugas pelayanan umat beragama, agama Hindu belum mendapat pengakuan resmi dari pemerintah tentang keberadaannya di Indonesia hingga tahun 1959.

Bahkan, sejak 1953 hingga 1959, agama Hindu dimasukkan dalam organisasi aliran keagamaan pada Departemen Agama RI. 

"Kondisi itu menunjukkan tidak adanya saling menerima dan saling menghargai atas keberadaan suatu agama di tingkat nasional dalam waktu yang sangat panjang," ujar Gusti Made Ngurah.









Unik Akulturasi Islam Dan Hindu Di Bali
Unik, Akulturasi Islam dan Hindu di Bali
Setangkai bunga menyambut di pintu yang masuk, sepotong kertas warna cokelat kecil tersisip di antara daunnya. sebaris pesan tertulis diatasnya, ‘damai di langit, damai di bumi dan damai setiap hati manusia.’
Sebuah keharusan dijalani, jika umat manusia ingin hidup berdampingan secara damai. Sikap toleransi itu dapat dikembangkan seperti yang selama ini dirintis Forum Komunikasi Antar Umat Agama Propinsi Bali yang diketuai, Drs Ketut Suda Sugira. Organisasi keagamaan di Bali anatara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Pelayanan Antara Gereja (MPAG), Keuskupan, Wadah Umat Budha (WALUBI), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, secara berkesinambungan menggelar dialog dalam memperkokoh kerukunan antar umat beragama.Upaya mewujudkan kerukunan dan keharmonisan umat beragama sebenarnya tidak terlalu berat dalam penerapanya, asalkan dilandasi toleransi dan rasa saling menghormati satu sama lain. Kerukunan antar umat beragama di Bali selama ini sangat mantap dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun silam. ‘Itu bisa terlaksana berkat konsep menyama braya yakni persaudaraan betul–betul sudah diterangkan dalam kehidupan umat beragama di Bali.’
Tutur Drs H Manyur, Kabid Bimas Islam Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali.
Kehidupan umat beragama yang ‘mesra dan harmonis’ itu diharapkan dapat diperlihara guna mendukung terciptanya kondisi aman, nyaman dan tentram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.
Agama Islam dan Hindu, Sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Bali . Kesamaan itu antara lain terdapat pada buku dan geguritan (pembacaan ayat-ayat suci Hindu) yang ternyata didalamnya mengandung unsur nuansa Islam, seperti yang pernah diungkapkan Prof Drs H ShaLeh Saidi (67) Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam–Hindu adalah di Desa Pegayaman–Buleleng, Kepaon–Denpasar, serta Desa Loloan Di Jembrana. Di desa Pegayaman misalnya sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depan sebagian besar warganya sama seperti orang Bali pada umumnya, sehingga muncul nama seperti misal Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Dalam Budaya, umat Islam Bali telah ‘berbaur’ dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu. Dalam pengairan bidang pertanian tradisional (Subak) misalnya, umat muslim menerapkan cara dan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panet berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan dan Subak Yeh Santang, Jembrana, menerapkan sistem pengairan secara teratur sepeti umumnya dilakukan pertani Bali. Hal ini diungkapkan Haji Mansyur Ali (53) ayah lima anak kelahiran Banjar Yeh Sumbul. Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu, dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan ‘kemesraan’ dan tali persaudaran antar Hindu dan Islam, termasuk umat lain di pulau Bali, bahkan di Nusantara.
Berbagai keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai segi baik oleh wisatawan mancanegara, sosiolog maupun budayawan dari belahan dunia. Tidaklah mengherankan, kondisi demikian menjadikan pulau Seribu Pura ini bertambah tenar, bahkan terkadang melampaui ketenaran Indonesia – negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Pengendalian Diri.
Jika menurut sejarah, akulturasi dan kerukunan antar umat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis serta tidak pernah terjadi benturan, sesungguhnya sudah diwarisi secara turun temurun sejak abad ke–15 lalu. Terciptanya kerukunan hidup beragama demikian itu, berkat adanya saling pengertian serta saling hormat – menghormati anatr warga berlainan suku maupun agama di Bali.
‘Kerukunan antar umat beragama yang hidup berdampingan satu sama lainnya itu, diharapkan dapat terus diperlihara dan dipupuk dalam mengembangkan kerukunan yang dinamis, sekaligus terhindar pengaruh luar yang negatif‘, ungkap Gebernur Bali Dewa Beratha pada suatu kesempatan membuka sarasehan agamawan antar umat beragama di Bali belum lama ini.
Pengendalian diri menjadi landasan penting dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Pengendalian diri akan mampu, mewujudkan ketentraman dan kedamaian bagi masyarakat. Berbagai aktivitas keagamaan di Bali mendorong kegiatan Budaya serta terwujudnya keseimbangan pembangunan lahiriah dan batiniah. Keseimbangan pembangunan untuk menyadarkan umat manusia, yang senantiasa memiliki keterbatasan dan kelemahan.
Propinsi Bali lalu membentuk wadah komunikasi antar umat beragama untuk mengadakan komunikasi dan menjembatani berbagai permasalahan yang menyangkut anatar umat beragama. Pembentukan wadah tersebut, awalnya mengantisipasi konflik yang bernuansa kesukuan, agama, ras, anatar– olongan ( SARA) yang sempat melanda di beberapa daerah di Indonesia . Gagasan yang mendapat dukungan dari semua pihak itu terbukti mampu menciptakan kehidupan yang lebih akrab, saling menghormati dan menghargai serta melindungi satu sama lain.
‘Kerukunan antarumat beragama di daerah tujuan wisata Bali sangat kental, lolos dari berbagai cobaan dan tantangan yang pernah ‘mengujinya‘ perlu lebih disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata yang bermanfaat bagi masyarakat bawah,’ kata Kakanwil Departemen Agama Bali, Drs I Gusti Made Ngurah.
Ujian Berat
‘Ujian berat’ yang pernah dihadapi umat beragama di Bali, terjadi tahun 1961 ketika Umat Hindu, Islam dan Kristen pada hari yang sama merayakan hari raya suci masing–masing dengan tradisi yang berbeda. Umat Hindu pada Minggu, 17 Maret 1991 merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1913 yang memerlukan dukungan suasana sepi untuk melaksanakan tapa brata – empat pantangan: tidak bekerja, tidak bepergian, tidak mengumbar bahwa nafsu, dan tidak menyalakan api .
Sementara umat Islam melakukan takbiran menyosong Idul Fitri dan umat Kristen melakukan Kebaktian di Gereja. ‘Berkat saling pengertian dan kerukunan umat yang kental, masing–masing umat beragama dapat merayakan hari raya suci mereka dengan baik,’ ungkap ketua MUI Bali, H Roichan .
Kondisi demikian bertambah ‘mesra dan manis’ setelah masyarakat Bali yang 92% beragama Hindu, dapat berperan serta menyukseskan pelaksanaan Seleksi Tilawatir Qur‘an (STQ) tingkat nasional pada bulan 1998. ‘Dari dulu masyarakat Bali memiliki rasa cinta damai terhadap semua umat, dan tetap menjunjung tingi rasa persatuan dan kesatuan bangsa,’ kata Ketua PHDI Bali, Ida Bagus Wijaya Kusuma.
Kehidupan Umat Beragama yang mesra dan harmonis di Bali optimis tetap dapat dipertahakan di masa–masa mendatang, tercermin dari aktualisasi budaya antara Islam dan Hindu. Kesenian hasil perpaduan antara unsur seni Bali dan Islam itu, pernah disuguhkan untuk memeriahkan pembukaan STQ ke XIII tingkat Nasioanal di Bali tiga tahun silam.
Demikian pula di Kepaon, Denpasar Selatan, Desa Loloan, Jembrana, Muncan, Karangasem dan Pegayaman, Buleleng hingga kini tetap mempertahankan adat dan tradisi budaya yang merupakan perpaduan kedua unsur Hindu dan Islam.